06Jun By Ust. Nafis Abdul Karim, Lc01/06/20210Blog Bagaimana Hukum Menikah Siri? Hukum menikah siri mungkin masih terasa tabu di kalangan masyarakat. Bagi mereka yang hanya membaca, mungkin masih merasa aneh, atau bahkan risih dengan nikah siri. Fenomena nikah siri yang terjadi di masyarakat, membuat sebagian kita bertanya, apa hukum nikah siri dan bagaimana pandangan Islam dan negara terhadap nikah siri? Apakah sah hukum menikah siri? Table of Contents Sebab Terjadinya Nikah SiriHukum Menikah SiriKesimpulan Sebab Terjadinya Nikah Siri Agar lebih objektif, marilah kita simak terlebih dahulu alasan terjadinya nikah siri berikut ini: Dalam norma-norma agama islam melarang laki-laki dan perempuan yang belum menikah seperti, berduan di tempat yang sepi (khalwat), bermesraan, berciuman dan bersetubuh. Perbuatan ini akan berubah statusnya menjadi halal, sah dan berpahala jika diikat dengan tali perkawinan. Jadi dalam konteks ini nikah siri berfungsi sebagai lembaga sekaligus alat untuk melegalisasi perbuatan tertentu bagi pelakunya. Dengan menikah siri maka pelaku akan memperoleh ketenangan dan ketentraman jiwa, mengatasi perasaan resah, gelisah, galau dan berbuat perbuatan dosa lainnya. Tujuan yang bersifat biologis: memang sudah manusiawi untuk mendapatkan kepuasaan seks. Ini tidak dapat disangkal dan kita harus mengakuinya, dari sini keluarga merupakan lembaga pokok yang menjadi wahana bagi masyarakat untuk mengatur dan mengorganisasikan kepuasan seksual. Tujuan yang bersifat sosial-ekonomis: tujuan ini ada karena adanya asumsi sosial yang mengatakan bahwa menikah ketika kuliah itu akan menghambat laju studi, malu dan lain sebagainya. Dan dengan menikah sirilah maka berita pernikahan itu akan tertutupi dan bisa kuliah seperti teman-teman yang belum menikah. Sedangkan tujuan ekonomis adalah karena jika menikah otomatis kiriman dari orang tua akan berhenti, dan dengan menikah siri kiriman dari orang tua tetap lancar[1]. Hukum Menikah Siri Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah siri didefinisikan sebagai berikut: Nikah Siri: pernikahan yg hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama, menurut agama Islam sudah sah;[2] Sebenarnya definisi tersebut hanya merupakan salah satu bentuk dari nikah siri dalam khazanah fikih islam. Kategori nikah siri sendiri bisa merujuk berbagai Istilah nikah dalam pembahasan fikih kontemporer seperti nikah urfi, nikah siri, nikah misyar, nikah misfar[3], nikah shadiq, dan nikah online[4]. Maka ada dua istilah yang hampir mirip sekaligus cukup mewakili dalam pembahasan ini yaitu nikah urfi dan nikah siri. Pertama, nikah ‘urfi. Nikah ‘urfi didefinisikan sebagai pernikahan tanpa pencatatan oleh badan resmi baik memenuhi syarat sah pernikahan, maupun tidak. Kurang lebih ada tiga bentuk dari pernikahan ini: 1. Pernikahan yang ada wali dan saksi tanpa pencatatan, 2. ada wali tanpa saksi dan tanpa pencatatan, 3. Dan yang terakhir ada saksi tanpa wali dan tanpa pencatatan. Kedua, nikah siri. Nikah siri secara sederhana didefinisikan sebagai pernikahan yang tidak diketahui kejelasan pencatatannya. Kurang lebih ada empat bentuk pernikahan ini: 1. Ada wali, saksi dan pecatatan tetapi para saksi bersepakat merahasiakannya, 2. Ada wali dan saksi tetapi dirahasiakan dan tanpa pencatatan, 3. Tanpa pencatatan tanpa saksi tetapi dengan wali, 4. Yang terakhir tanpa pencatatan, saksi, maupun wali (mempelai wanita bertindak sebagai wali atas dirinya sendiri)[5]. Maka dari definisi yang telah dijelasakn di atas, ringkasnya bentuk-bentuk pernikahan siri secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, pernikahan tanpa wali, tanpa saksi, dan tanpa pengumuman. Misalkan ada sepasang muda mudi duduk bersama saling menuliskan janji pernikahan, lalu masing-masing menyimpan kertas tersebut sebagai bukti. Maka nikah yang seperti ini hukumnya bathil (tidak sah) sesuai kesepakatan para ulama. Kemudian yang kedua, dengan wali dan saksi tanpa ada pengumuman. Menurut penganut mazhab Maliki dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad pernikahan seperti ini hukumnya bathil (tidak sah). Sedangkan menurut jumhur (mayoritas) ulama, pernikahan seperti ini shahih karena semua syarat pernikahan terpenuhi, tetapi makruh karena asalnya (sesuai sunnah) pernikahan itu hendaknya diumumkan. Yang ketiga dengan saksi tanpa wali. Menurut mazhab Hanafi pernikahan seperti ini sah hukumnya, tetap jumhur ulama berpendapat bahwa nikah seperti hukumnya bathil (tidak sah) karena syarat sah nikah adalah dengan adanya wali. Bentuk keempat yaitu dengan wali tanpa saksi, diumumkan di satu tempat, dan dirahasiakan di tempat lain. Menurut mazhab Maliki dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad hal ini diperbolehkan, walaupun jumhur ulama tetap mengatakan nikah seperti ini hukumnya bathil (tidak sah) karena tanpa adanya saksi. Yang kelima pernikahan dengan wali dan saksi diumumkan di satu tempat, tetapi dirahasiakan di tempat lain. pernikahan seperti ini sahih (sah) tanpa adanya pendapat yang menyelisihinya (khilaf) [6]. Melanjutkan poin nomor lima, bila hal tersebut dilakukan tanpa pencatatan resmi Kantor Urusan Agama (KUA), maka nikah tersebut tetap sah berdasarkan pada pasal 2 ayat (1) UU RI nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 4[7]. Maka dari sini kita bisa memahami bahwa tidak ada alasan untuk melarang perbuatan nikah siri yang telah memenuhi syarat syar’i dengan alasan kewajiban mentaati ulil amri. Kesimpulan Sederhananya nikah siri sah secara syar’i karena sudah sesuai dengan sabda Rasulullah ﷺ: {لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ} [8] “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi adil.” Walaupun negara tidak melarang perbuatan nikah siri berdasarkan pada pasal 2 ayat (1) UU RI nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 4, tetapi bila meninjau konsekuensi dari nikah siri yang tidak memiliki kekuatan hukum, maka nikah siri bisa berdampak pada tidak adanya jaminan terhadap hak-hak suami istri dan anak turunannya, maka dalam hal tersebut nikah siri telah menyelisihi sabda Rasulullah ﷺ: {لَا ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ}[9] “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” Alangkah baiknya bila pernikahan itu dirayakan sebagai bentuk pengumuman agar tidak terjadi prasangka dalam masyarakat. Begitulah memang prinsip penikahan islami sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: {أَعْلِنُوْا النِّكَاحَ}[10] “Umumkanlah pernikahan.” Wallahu a’lam bis showaab… ——————————————————————– [1] Masturiyah, NIKAH SIRRI; PRESPEKTIF HUKUM ISLAM DANHUKUM PERKAWINAN NASIONAL. [2] KBBI Offline 1.4.exe. [3] Terjemahan bebas dari https://www.alukah.net/sharia/0/90730/ [4] Terjemahan bebas dari tesis berjudul Akad Nikah Kontemporer Dalam Fikih Islam oleh Sumaiyyah Abdur Rahman Athiyyah Bahr. [5] Ibid. [6] Terjemahan bebas dari potongan kuliah Syaikh Dr. Sulaiman Ar Ruhaily, https://www.youtube.com/watch?v=6WupKAol0Ws [7] Masturiyah, NIKAH SIRRI; PRESPEKTIF HUKUM ISLAM DANHUKUM PERKAWINAN NASIONAL. [8] Diriwayatkan Al Baihaqi dari Hadits Imron dan Aisyah. [9] Hadits riwayat Ibnu Majah dan Ad Daaruquthni. [10] Hadits riwayat Ahmad dan Al Hakim. 4.8/5 - (56 votes) 0